Mungkin bukan kebetulan kalau Hari Anti Madat Sedunia dan Hari Keluarga
Nasional diperingati secara agak berdekatan. Seperti kita tahu, tiap 26
Juni, PBB mendedikasikan hari itu sebagai Hari Anti Madat Sedunia.
Sedangkan sejak Presiden Soeharto mencanangkan Gerakan Keluarga
Berencana pada 29 Juni 1993, sejak saat itu tiap 29 Juni diperingati
sebagai Hari Keluarga Nasional. Antara spirit melawan narkoba dan peran
keluarga memang terdapat hubungan atau inter-relasi yang relatif dekat.
Untuk melihat inter-relasi itu, kita perlu melihat pertama-tama bahwa bahaya madat atau narkotik dan obat-obatan terlarang (narkoba) kian tahun kian membengkak. Ratusan ribu bahkan jutaan nyawa telah terenggut akibat mengkonsumsi barang haram ini. Seiring dengan globalisasi, narkoba juga kian menjadi ancaman nyata bagi dunia. Antonio Nicaso dalam bukunya The Mafia Global (2000 ) dan Fenton Breslor dalam The Chinese Mafia (1980) sudah membeberkan betapa peredaran narkoba sudah menjadi bisnis internasional akibat menguatnya arus globalisasi.
Indonesia tak luput dari sasaran para mafia asing. Sementara dua-tiga tahun lalu banyak pengedar narkoba berasal dari Nigeria, dalam setahun terakhir aparat kita banyak menangkap para pengedar narkoba asal Iran dan Hong Kong dengan omzet miliaran dolar. Sedangkan di dalam negeri, kian menjamur pabrik narkoba, khususnya di kota-kota besar seperti Surabaya.

Data BNN
Tidak mengherankan jika jumlah korban narkoba di Indonesia juga kian banyak. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) 2011, 5 juta dari 237 juta penduduk Indonesia menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba. Yang memprihatinkan, sekitar 63 persen pengguna narkoba pertama kali mencoba narkoba pada usia 15-24 tahun. Bahkan satu di antara 10 responden mengaku menggunakan/mengkonsumsi narkoba pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun. Korban meninggal 15 ribu orang setiap tahun. Yang patut disesalkan, hampir 15 ribu korban narkoba adalah anak-anak SD. Jaringan pengedar narkoba di Indonesia mendapatkan rata-rata Rp 30 triliun per tahun.
Lemahnya penegakan hukum di negeri ini turut punya andil dalam kian banyaknya korban narkoba di kalangan generasi muda. Meski polisi sering dikabarkan menangkap para pengedar atau bandar besar narkoba, ketika sudah dibawa ke pengadilan, sering kasus ini menguap begitu saja. Akibatnya, para bandar besar narkoba masih bisa tetap bebas. Dengan uang yang dimiliki, para bandar serta hukum yang bisa direkayasa, serta aparat hukum yang gampang disuap, kasus-kasus narkoba hanya berhasil menjerat para korban tapi membiarkan pihak-pihak yang paling bertanggung jawab dalam peredaran narkoba. Anehnya, ada selentingan bahwa beberapa aparat hukum, mulai dari polisi, jaksa, sampai hakim, kabarnya malah memelihara para bandar narkoba sebagai “ATM”. Akibatnya, dari sisi penegakan hukum sesuai dengan UU Psikotropika, hanya pengedar kelas teri yang dijerat, sementara kelas kakapnya tetap bebas merdeka.
Karena itu, dalam masalah narkoba, kita tidak bisa berharap pada aparat hukum atau negara (dalam hal ini Badan Narkotika Nasional). Setiap warga negara mempunyai tanggung jawab mengingatkan betapa berbahayanya narkoba bagi anak-anak bangsa. Setiap saat, tidak hanya ketika Hari Anti Madat, kita harus terus-menerus menyuarakan perang melawan narkoba. Setiap hari harus menjadi hari anti-narkoba.
Penulis pernah mewawancarai para bekas korban narkoba di sebuah radio di Surabaya. Mereka berkisah bagaimana jerat narkoba mampu melumpuhkan segenap akal sehat mereka. Begitu orang sudah kecanduan, sebuah neraka dunia tengah tercipta. Maunya menikmati aroma surga ketika tengah fly, tapi pelan tapi pasti jiwa-raga sedang menuju kehancuran, baik fisik maupun mental. Perjuangan untuk sembuh dari kecanduan narkoba sangatlah sulit dan melelahkan.
Peran keluarga
Umumnya mereka yang telah sembuh dari kecanduan narkoba mengakui bahwa dukungan dari pihak keluarga sangatlah penting. Kepedulian, perhatian, dan kasih sayang orang tua bisa menyelamatkan anak-anak dari jerat dan kehancuran karena narkoba. Tentu rehabilitasi ini membutuhkan tenaga, waktu, dan uang yang tidak sedikit. Henry Yosodiningrat, Titik Qadarsih, atau Nyonya Ronny Patinasarani, yang anak-anaknya pernah menjadi korban narkoba, bisa dijadikan sumber inspirasi bagi orang tua yang anaknya kecanduan narkoba. Narkobanya harus dilawan, tapi korbannya perlu dan harus diselamatkan.
Karena itu, dalam perang membentengi generasi kita dari ancaman narkoba, institusi keluarga jelas punya peran lebih besar dan menentukan. Kita jangan berharap dari negara atau pemerintah saja. Memang kebanyakan korban narkoba berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Ini yang sungguh mencemaskan. Padahal, kalau keluarga tidak harmonis, anak-anak lari ke luar rumah dan narkoba menjadi pelarian, karena tidak ada cinta atau perhatian di dalam rumah. Sayangnya, di luar rumah, ada orang yang menjadikan narkoba sebagai bagian dari gaya hidup atau perilaku. Dalam perspektif psikologi behaviorism, dengan tokohnya J.B Watson (1878-1958), dikenal stimulus-response theory. Menurut Watson, setiap tingkah laku manusia pada hakikatnya merupakan tanggapan atau balasan (response) terhadap rangsang (stimulus). Karena itu, stimulus sangat mempengaruhi tingkah laku manusia. Bahkan setiap perilaku manusia ditentukan dan diatur oleh rangsangan. Jadi, seseorang tidak akan menjadi pecandu narkoba bila ada stimulus dari luar.
Maka, setiap orang tua punya tanggung jawab menjaga kondisi harmonis dalam rumah, sehingga anak-anak tidak lari ke luar rumah serta mencari narkoba. Sayangnya, keluarga yang menjadi benteng sekaligus penyemai benih-benih moral dan budi pekerti ini tengah menghadapi ancaman luar biasa. Bahkan ada yang menilai institusi keluarga sudah dianggap basi. Perselingkuhan dan perceraian menjadi biasa, sehingga Indonesia termasuk negara ketiga terbesar dalam hal perceraian.
Ada banyak ancaman yang punya andil dalam memperlemah lembaga keluarga ini, seperti faktor ekonomi yang menyebabkan keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak harus terpisah. Misalnya, sekitar 6,5 juta buruh migran kita harus bekerja di luar negeri dan menyerahkan anak-anak mereka di Tanah Air pada asuhan orang lain. Entah ada korelasinya atau tidak, di daerah kantong-kantong TKI, seperti Tulungagung, Kediri, atau Blitar, banyak terjadi kasus perceraian dan narkoba. Apakah pemerintah atau negara pernah memikirkan bagaimana masa depan anak-anak buruh migran itu?
Bahkan mendiang Ibu Teresa, peraih Nobel Perdamaian, pernah mengatakan, “Kita harus ingat bahwa cinta dimulai di rumah atau dalam keluarga, dan kita harus ingat juga bahwa masa depan kemanusiaan harus melalui keluarga.” Mudah-mudahan keberadaan Hari Keluarga Nasional kembali bisa membuka mata kita akan pentingnya keluarga ini. Kita tahu banyak hal dari keluarga. Jadi, mari kita selamatkan keluarga dari beragam bahaya, termasuk narkoba dan ketiadaan cinta serta perhatian. Mari kita kembali ke keluarga. Agama (apa pun) sudah mengajarkan, tidak ada institusi yang lebih efektif untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan selain keluarga. Jadi, mari selamatkan keluarga dari narkoba.
Bahaya Narkoba Bagi Anak
alam data akhir tahun 2010 penggunaan narkoba kian marak dan kian mencemaskan, karena ditahun 2010 terdapat 23.531 kasus narkoba dengan jumlah tersangka 29.681 orang. Data tersebut menunjukan bahwa kian menghawatirkannya kondisi saat ini, dimana tidak ada lagi kepedulian dan kesadaran masyarakat mengenai narkoba. Memang dibandingkan dengan tahun 2009 yang terjadi 28.382 kasus dengan jumlah tersangka 35.299 orang terdapat kemajuan dan penurunan jumlah kasus yang ditemukan ditahun 2010. Berikut adalah rincian data kasus yang terjadi di tahun 2009 dan tahun 2010.
Untuk melihat inter-relasi itu, kita perlu melihat pertama-tama bahwa bahaya madat atau narkotik dan obat-obatan terlarang (narkoba) kian tahun kian membengkak. Ratusan ribu bahkan jutaan nyawa telah terenggut akibat mengkonsumsi barang haram ini. Seiring dengan globalisasi, narkoba juga kian menjadi ancaman nyata bagi dunia. Antonio Nicaso dalam bukunya The Mafia Global (2000 ) dan Fenton Breslor dalam The Chinese Mafia (1980) sudah membeberkan betapa peredaran narkoba sudah menjadi bisnis internasional akibat menguatnya arus globalisasi.
Indonesia tak luput dari sasaran para mafia asing. Sementara dua-tiga tahun lalu banyak pengedar narkoba berasal dari Nigeria, dalam setahun terakhir aparat kita banyak menangkap para pengedar narkoba asal Iran dan Hong Kong dengan omzet miliaran dolar. Sedangkan di dalam negeri, kian menjamur pabrik narkoba, khususnya di kota-kota besar seperti Surabaya.
Data BNN
Tidak mengherankan jika jumlah korban narkoba di Indonesia juga kian banyak. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) 2011, 5 juta dari 237 juta penduduk Indonesia menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba. Yang memprihatinkan, sekitar 63 persen pengguna narkoba pertama kali mencoba narkoba pada usia 15-24 tahun. Bahkan satu di antara 10 responden mengaku menggunakan/mengkonsumsi narkoba pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun. Korban meninggal 15 ribu orang setiap tahun. Yang patut disesalkan, hampir 15 ribu korban narkoba adalah anak-anak SD. Jaringan pengedar narkoba di Indonesia mendapatkan rata-rata Rp 30 triliun per tahun.
Lemahnya penegakan hukum di negeri ini turut punya andil dalam kian banyaknya korban narkoba di kalangan generasi muda. Meski polisi sering dikabarkan menangkap para pengedar atau bandar besar narkoba, ketika sudah dibawa ke pengadilan, sering kasus ini menguap begitu saja. Akibatnya, para bandar besar narkoba masih bisa tetap bebas. Dengan uang yang dimiliki, para bandar serta hukum yang bisa direkayasa, serta aparat hukum yang gampang disuap, kasus-kasus narkoba hanya berhasil menjerat para korban tapi membiarkan pihak-pihak yang paling bertanggung jawab dalam peredaran narkoba. Anehnya, ada selentingan bahwa beberapa aparat hukum, mulai dari polisi, jaksa, sampai hakim, kabarnya malah memelihara para bandar narkoba sebagai “ATM”. Akibatnya, dari sisi penegakan hukum sesuai dengan UU Psikotropika, hanya pengedar kelas teri yang dijerat, sementara kelas kakapnya tetap bebas merdeka.
Karena itu, dalam masalah narkoba, kita tidak bisa berharap pada aparat hukum atau negara (dalam hal ini Badan Narkotika Nasional). Setiap warga negara mempunyai tanggung jawab mengingatkan betapa berbahayanya narkoba bagi anak-anak bangsa. Setiap saat, tidak hanya ketika Hari Anti Madat, kita harus terus-menerus menyuarakan perang melawan narkoba. Setiap hari harus menjadi hari anti-narkoba.
Penulis pernah mewawancarai para bekas korban narkoba di sebuah radio di Surabaya. Mereka berkisah bagaimana jerat narkoba mampu melumpuhkan segenap akal sehat mereka. Begitu orang sudah kecanduan, sebuah neraka dunia tengah tercipta. Maunya menikmati aroma surga ketika tengah fly, tapi pelan tapi pasti jiwa-raga sedang menuju kehancuran, baik fisik maupun mental. Perjuangan untuk sembuh dari kecanduan narkoba sangatlah sulit dan melelahkan.
Peran keluarga
Umumnya mereka yang telah sembuh dari kecanduan narkoba mengakui bahwa dukungan dari pihak keluarga sangatlah penting. Kepedulian, perhatian, dan kasih sayang orang tua bisa menyelamatkan anak-anak dari jerat dan kehancuran karena narkoba. Tentu rehabilitasi ini membutuhkan tenaga, waktu, dan uang yang tidak sedikit. Henry Yosodiningrat, Titik Qadarsih, atau Nyonya Ronny Patinasarani, yang anak-anaknya pernah menjadi korban narkoba, bisa dijadikan sumber inspirasi bagi orang tua yang anaknya kecanduan narkoba. Narkobanya harus dilawan, tapi korbannya perlu dan harus diselamatkan.
Karena itu, dalam perang membentengi generasi kita dari ancaman narkoba, institusi keluarga jelas punya peran lebih besar dan menentukan. Kita jangan berharap dari negara atau pemerintah saja. Memang kebanyakan korban narkoba berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Ini yang sungguh mencemaskan. Padahal, kalau keluarga tidak harmonis, anak-anak lari ke luar rumah dan narkoba menjadi pelarian, karena tidak ada cinta atau perhatian di dalam rumah. Sayangnya, di luar rumah, ada orang yang menjadikan narkoba sebagai bagian dari gaya hidup atau perilaku. Dalam perspektif psikologi behaviorism, dengan tokohnya J.B Watson (1878-1958), dikenal stimulus-response theory. Menurut Watson, setiap tingkah laku manusia pada hakikatnya merupakan tanggapan atau balasan (response) terhadap rangsang (stimulus). Karena itu, stimulus sangat mempengaruhi tingkah laku manusia. Bahkan setiap perilaku manusia ditentukan dan diatur oleh rangsangan. Jadi, seseorang tidak akan menjadi pecandu narkoba bila ada stimulus dari luar.
Maka, setiap orang tua punya tanggung jawab menjaga kondisi harmonis dalam rumah, sehingga anak-anak tidak lari ke luar rumah serta mencari narkoba. Sayangnya, keluarga yang menjadi benteng sekaligus penyemai benih-benih moral dan budi pekerti ini tengah menghadapi ancaman luar biasa. Bahkan ada yang menilai institusi keluarga sudah dianggap basi. Perselingkuhan dan perceraian menjadi biasa, sehingga Indonesia termasuk negara ketiga terbesar dalam hal perceraian.
Ada banyak ancaman yang punya andil dalam memperlemah lembaga keluarga ini, seperti faktor ekonomi yang menyebabkan keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak harus terpisah. Misalnya, sekitar 6,5 juta buruh migran kita harus bekerja di luar negeri dan menyerahkan anak-anak mereka di Tanah Air pada asuhan orang lain. Entah ada korelasinya atau tidak, di daerah kantong-kantong TKI, seperti Tulungagung, Kediri, atau Blitar, banyak terjadi kasus perceraian dan narkoba. Apakah pemerintah atau negara pernah memikirkan bagaimana masa depan anak-anak buruh migran itu?
Bahkan mendiang Ibu Teresa, peraih Nobel Perdamaian, pernah mengatakan, “Kita harus ingat bahwa cinta dimulai di rumah atau dalam keluarga, dan kita harus ingat juga bahwa masa depan kemanusiaan harus melalui keluarga.” Mudah-mudahan keberadaan Hari Keluarga Nasional kembali bisa membuka mata kita akan pentingnya keluarga ini. Kita tahu banyak hal dari keluarga. Jadi, mari kita selamatkan keluarga dari beragam bahaya, termasuk narkoba dan ketiadaan cinta serta perhatian. Mari kita kembali ke keluarga. Agama (apa pun) sudah mengajarkan, tidak ada institusi yang lebih efektif untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan selain keluarga. Jadi, mari selamatkan keluarga dari narkoba.
Bahaya Narkoba Bagi Anak
alam data akhir tahun 2010 penggunaan narkoba kian marak dan kian mencemaskan, karena ditahun 2010 terdapat 23.531 kasus narkoba dengan jumlah tersangka 29.681 orang. Data tersebut menunjukan bahwa kian menghawatirkannya kondisi saat ini, dimana tidak ada lagi kepedulian dan kesadaran masyarakat mengenai narkoba. Memang dibandingkan dengan tahun 2009 yang terjadi 28.382 kasus dengan jumlah tersangka 35.299 orang terdapat kemajuan dan penurunan jumlah kasus yang ditemukan ditahun 2010. Berikut adalah rincian data kasus yang terjadi di tahun 2009 dan tahun 2010.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
penggunaan Narkoba jenis narkotika mendominasi pada tahun 2010. Ini
disebabkan karena bahan narkotika mudah sekali didapat dan peredaran
dipasar gelap narkoba yang sangatlah banyak. Dari sekian banyaknya
narkotika yang sering dijumpai adalah penggunaan ganja, shabu, heroin,
dan ekstasi.

Untuk penggunaan bahan narkoba yang
berjenis Psikotropika memang lambat laun mengalami penurunan dikarenakan
susahnya barang ditemukan di Indonesia, dan banyak pabrik yang telah
digrebek dan ditutup aparat penegak hukum di penjuru Dunia. Tetapi tak
dipungkiri bahwa peredaran dipasar gelapnya masih dijumpai sampai saat
ini, hal tersebut dimungkinkan karena modus-modus baru yang digunakan
oleh para penjual psikotropika. Kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai jenis dan penggolongannya membuat Psikotropika ini bisa berbaur
dengan masyarakat karena sering kali dalam wujud konsumsinya dikemas
dalam bentuk seperti obat umum yang layak dijual di took-toko obat.
Dari jumlah kasus tersebut diatas aparat
Kepolisian Republik Indonesia berhasil menyita Barang bukti yaitu
Narkoba senilai Rp. 892.574.028.255;- (Delapan ratus sembilan puluh dua
milyar limaratus tujuh puluh empat juta duapuluh lima ribu dua ratus
lima puluh lima rupiah) yang terdiri dari narkoba jenis Narkotika
(Ganja, Heroin, Hashish, Kokain, Eksatasy, Shabu) dan narkoba jenis
Psikotropika (Daftar G, Ketamin, Benzodiazepin, Barbitirat). Namun
jangan dilihat dari berapa banyak nilai uang dari barang haram tersebut,
tetapi setidaknya Aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
menyalamatkan setidaknya sebanyak 64.874.304 orang pengguna narkoba
pemula yang didominasi oleh generasi muda bangsa Indonesia.
Kita patut memberikan acungan jempol
terhadap aparat penegak hukum negeri ini, yang tidak pernah berhenti
memerangi narkoba dan membersihkan bangsa ini dari orang-orang jahat
yang tidak bertanggung jawab. Berkat kerja keras aparat penegak hukumlah
para pengedar dan bandar dapat ditangkap dan jaringan narkoba dapar
diungkap.
Kini data BNN 2010 menyebutkan, pengguna
narkoba mencapai 3,6 juta orang. Rinciannya generasi muda dan usia
produktif, yakni 20-34 tahun adalah pengguna narkoba terbanyak. Mereka
terdiri dari mahasiswa dan pelajar berjumlah 921.695. Sementara sebanyak
17.734 pengguna narkoba mendapat terapi dan rehabilitasi pada 2010.
Hal tersebutlah yang sangat
dikhawatirkan, karena generasi muda bangsa akan menjadi cikal bakal
kemajuan dan keberhasilan bangsa di masa depan. Kekhawatiran tersebut
memang tidaklah berlebihan karena dapat kita jumpai sekarang ini banyak
artis, anak pejabat, dan public figure lainnya yang menjadi korban dari
Narkoba itu sendiri. Baru-baru ini Direktorat Narkoba Polri bersama
Badan Narkotika Nasional mengungkap sejumlah nama yang menurut kita
sangat mencengangkan karena sebagain besar dari mereka adalah Anak Muda
Bansa Indonesia yang sangatlah berpotensi untuk terjerumus dalam lubah
hitam bernama “Narkoba”, diantaranya adalah Roy Marten, Sheila Marcia,
Sammy Kerispatih, Ibra Azhari, Ahmad Albar, Gary Iskak, Fariz RM, Imam
S. Arifin, Revaldo, Surendro Prasetyo alias Yoyo Padi, Iyut bin Slamet,
dan yang terakhir adalah cicit dari mantan Presiden Soeharto.
Patut disayangkan bahwa masih adanya
celah-celah yang dimanfaatkan pengedar untuk menjaring pengguna pemula
yang angkanya terus meningkat seiring berkembangan jaman. Banyak yang
mengungkapkan bahwa menggunakan narkoba adalah suatu bentuk untuk
menjadikan seseorang dapat bergaul dan dianggap gaul oleh generasi muda
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar